Senin, 03 Maret 2014

Pathilo, Masih Jadi Camilan Favorit Masyarakat Gunungkidul



 Tanjungsari, (Sorotgunungkidul) -- Kendati hanya tinggal di pelosok desa, tampaknya tak menyurutkan semangat warga Kabupaten Gunungkidul, DIY dalam berwirausaha. Supel, tidak malu, ulet dan telaten, menjadi kunci suksesnya dalam dalam menggeluti dunia usaha yang awalnya merupakan rintisan nenek moyang puluhan tahun lalu itu.
Hanya sekedar Pathilo, makanan ringan khas Gunungkidul berbahan dasar ketela yang sejak dulu hingga sekarang laris manis tetap menjadi salah satu camilan favorit masyarakat. Bahkan karena rasanya yang gurih, makanan itu seolah bisa menghadirkan suasana baru saat bersantai bersama keluarga, bak lazimnya Gunungkidul tempo dulu.
Istilah Pathilo sendiri berasal dari Bahasa Jawa yaitu pathi (sari) dan telo (ketela). Memang begitu sebenarnya, Pathilo merupakan salah satu produk unggulan khas Gunungkidul sebanding dengan julukan kota gaplek yang disandang sejak puluhan tahun silam. Jangan salah, meskipun hanya terbuat dari bahan ketela, makanan ini sampai sekarang ternyata tetap masih jadi kegemaran para pejabat maupun perantau yang tersebar di kota – kota besar di Indonesia.
Sebagai produk unggulan, makanan ini masih banyak dijumpai di zona selatan Gunungkidul meliputi Semanu, Tanjungsari, Tepus, Saptosari, Rongkop, Panggang, serta Girisubo. Namun sayang, produksi untuk musim hujan ini sangat berkurang lantaran terkendala sulitnya mencari bahan baku berupa ketela. Sulitnya bahan pada awal tahun ini dipengaruhi belum panennya tanaman jenis ini. Biasanya ketela pohon akan dipanen sekitar pertengahan tahun saat musim kemarau. Begitu ungkap Yudi Pramana, warga Padukuhan Pakel, Desa Hargosari, Kecamatan Tanjungsari kepada Sorotgunungkidul.com, Selasa (05/03/2013).
Yudi yang ternyata juga seorang produsen Pathilo itu menjelaskan, meski baru dalam taraf kecil – kecilan, pangsa pasar usahanya sudah menjamah DIY dan Jawa Tengah dengan omset yang terbilang lumayan mencapai jutaan rupiah perbulan, saat ramai pesanan. Rata-rata jumlah produksi perbulan mencapai 1,5 ton pathilo dengan harga jual mencapai Rp 6.000 – Rp 7.000/bungkus.
“Kami tidak kesulitan dalam memperoleh bahan baku berupa ketela mentah karena para petani selalu menanam ketela di ladang setahun sekali. Tetapi untuk saat ini petani memang belum memanen ketela, sehingga kami terpaksa mengurangi jumlah produksinya. Harga bahan baku ketela mencapai Rp 700 – Rp 1.500/kilogram, tergantung dengan kualitasnya. Dalam kondisi ramai pesanan, perkiraan rata – rata laba bersih bisa mencapai Rp 500.000/ton bahan baku,” kata Yudi.
Selain Pathilo, Yudi juga memproduksi beberapa makanan kecil lainnya, seperti Krecek, Lempeng, serta Manggleng yang juga berbahan baku ketela dengan menyuguhkan aneka macam rasa baik pedas, manis maupun gurih. Jika sedang musim panen ketela, aneka makanan khas wong ndeso itu banyak dijumpai di pasar – pasar tradisional maupun di warung oleh – oleh khas Gunungkidul.(ari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar