Singkong atau ubi kayu merupakan salah satu hasil
pertanian yang ketersediaannya sangat melimpah dan harganya cukup murah. Di
tingkat petani, harganya hanya berkisar Rp. 500 – 1000. Oleh karenanya, upaya
untuk meningkatkan nilai tambah (added value) ubi kayu mutlak
diperlukan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Di
tingkat petani, upaya untuk mengolah ubi kayu menjadi produk olahan yang dapat
meningkatkan kesejahteraannya sebenarnya juga sudah dilakukan, hanya saja macam
variasi produk olahannya masih sangat terbatas dan kebanyakan produk olahannya
bersifat setengah basah ataupun daya simpan produknya relatif terbatas, misalnya
diolah menjadi combro, lemet, tape, direbus, digoreng, dan sebagainya.
Akibatnya, jangkauan pasar yang dapat dicapai relatif terbatas dan jumlah bahan
baku ubi kayu yang terserappun juga relatif sedikit.
Mengingat ubi kayu merupakan salah satu bahan
hasil pertanian yang mudah rusak, dan keberadaannya pada saat panen sangat
melimpah, maka upaya untuk penanganan pasca panen ataupun upaya pengolahannya
harus segera dilakukan. Untuk dapat menyerap semaksimal mungkin bahan baku ubi
kayu yang ada di masyarakat, maka skala produksinya haruslah skala industri yang
mampu menyerap ubi kayu secara kontinyu dalam jumlah yang cukup besar. Dalam hal
ini tidak harus industri skala besar, melainkan industri kecil dan menengah atau
UKM-pun mampu melakukannya. Mestinya pemberdayaan di tingkat UKM inilah yang
harus terus didorong agar kesejahteraan masyarakat meningkat dan membuka
lapangan kerja baru bagi masyarakat di sekitarnya.
Beberapa hasil olahan ubi kayu atau singkong yang
sudah cukup dikenal masyarakat antara lain ceriping singkong atau keripik
singkong, kerupuk singkong, lemet, combro, tiwul, gathot, tape
/ peuyem (jawa barat), gethuk, patilo, dan slondok. Satu lagi hasil
olahan berbahan baku ubi kayu atau singkong yang diproduksi di daerah Bojonegoro
– Jawa Timur adalah Rengginang Singkong.
Sesuai dengan namanya, secara sepintas nampak
bahwa produk ini menyerupai rengginang beras ketan yaitu berbentuk bulat dan
setelah digoreng terasa gurih dan renyah. Namun apabila dilihat prosesnya,
ternyata produk rengginang singkong Bojonegoro ini menyerupai proses pembuatan
pathilo yang banyak diproduksi di daerah Gunungkidul – Yogyakarta. Antara
Rengginang Bojonegoro dan pathilo Gunungkidul memang ada perbedaan pokok dalam
proses pembuatannya. Dalam pembuatan pathilo, sepengetahuan saya singkong
parut setelah diperas dan dicuci bersih tidak langsung dicetak dan dikukus
menjadi pathilo melainkan didiamkan 2-3 hari sehingga terjadi fermentasi.
Perlakuan ini dimaksudkan agar pathilo dapat mengembang lebih besar ketika
digoreng (untuk yang satu ini saya belum membuktikan, karena yang membuat
produk bisa mengembang adalah ditambahkannya tapioka sehingga terjadi
gelatinisasi sempurna. Ada yang tertarik meneliti ?). Yang jelas, menurut
lidah saya pathilo yang dihasilkan terasa sedikit agak asam dibandingkan
Rengginang singkong Bojonegoro.
Sedangkan dalam pembuatan rengginang singkong,
setelah singkong dikupas dan dicuci bersih, selanjutnya singkong diparut,
kemudian parutan singkong dicuci bersih (diekstrak beberapa kali dengan air
bersih untuk menghilangkan rasa pahit). Selanjutnya ampas parutan singkong
dihancurkan, ditambahkan bumbu, dan dibuat butiran-butiran kemudian dicetak
bulat (dengan cetakan plastik dari alas botol kemasan air minum). Selanjutnya
dikukus hingga matang, kemudian didinginkan dan dijemur hingga kering. Setelah
itu, rengginang singkong kering digoreng dan dikemas. Produk rengginang singkong
ini nampak lebih putih dan rasanya netral – tidak asam seperti pada pathilo.
Secara teknologi, proses pembuatan rengginang singkong Bojonegoro tersebut
relatif mudah dan dapat dikerjakan oleh industri kecil skala UKM. Selain itu
alat-alat yang dibutuhkan juga relatif sederhana dan tidak membutuhkan investasi
relatif besar. Jadi, apakah anda tertarik menjadi juragan Rengginang Singkong ?.
Siapa Takut !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar